Eco Blogger Squad 2023

Jaga Alam ala Masyarakat Adat

masyarakat Adat

Indonesia dikenal sebagai negara dengan keberagaman adat dan budayanya, saat ini terhitung jumlah masyarakat adat diperkirakan sekitar 70 juta jiwa yang tergabung dalam lebih dari 1.100 suku.

Membicarakan hutan dan sumberdaya hutan di wilayah Nusantara tidak dapat dipisahkan dari keberadaan beragam komunitas yang memiliki keterikatan sosial, budaya, spiritual, ekologi, ekonomi, dan politik yang kuat dengan tanah, wilayah, dan ekosistem hutan. Keberadaan dan peran mereka dalam pengelolaan hutan dan sumberdaya hutan telah dicatat oleh para peneliti dan ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu sejak zaman kolonial. Namun, pada masa Orde Baru, pihak pemerintah menganggap beragam pola pengelolaan hutan, termasuk pertanian berbasis hutan, sebagai pola terbelakang yang merusak hutan. Pada saat itu pemerintah menyebut komunitas-komunitas tersebut sebagai “peladang berpindah”, “pembuka-pembakar hutan”, “perambah hutan”, “suku terasing”, dan sebagainya

Istilah “masyarakat adat” mulai disosialisasikan oleh para pegiat gerakan sosial di Indonesia pada 1993, khususnya oleh tokoh-tokoh adat dari beberapa wilayah, akademisi, dan aktivis organisasi nonpemerintah yang membentuk Jaringan Pembelaan Hak-hak Masyarakat Adat (Japhama). Istilah tersebut diadopsi dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara pertama yang diselenggarakan pada Maret 1999. Peserta kongres tersebut sepakat bahwa masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun-temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri (Moniaga 2010; Sangaji 2010). Istilah “masyarakat adat” sesungguhnya memiliki sejarah panjang yang terkait erat dengan perjalanan penguasaan wilayah, tanah, dan sumberdaya alam lain oleh kelompok-kelompok tertentu sejak zaman prakolonial, kolonial, hingga pascakolonia

Adat di sini dipahami sebagai sebuah konsep yang merepresentasikan realitas sosial di kampung-kampung di mana di dalamnya ada kepercayaan dan mitologi, tradisi, normanorma, dan aturan-aturan bersama menyangkut tingkah laku, tindakan, dan relasi sosial, dengan orientasi utama adalah tata tertib yang tenteram dan konsensus. Muara utama dari adat tersebut pada dasarnya menyangkut dua urusan mendasar, yaitu hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam sekitar (tanah, air, hutan, gunung). Kedua jenis hubungan ini pun saling berkait-kelindan satu sama lain. Pertautan itu bersifat kompleks ketika menyangkut tanah sebagai sumber hidup utama, dan perkawinan sebagai institusi dan mekanisme menjaga kelangsungan eksistensi mereka. Dalam kedua urusan besar tersebut, kita dapat menemukan berbagai konsep hak. Konsep hak yang utama dalam urusan tanah dikenal sebagai tanah marga.

Masyarakat adat berkaitan erat dengan lingkungan dan sumber dayanya. Dengan adanya perubahan iklim yang berdampak terhadap lingkungan maka juga akan berdampak langsung terhadap kelangsungan hidup mereka, ditambah dengan adanya marginalisasi politik dan ekonomi, hilangnya tanah dan sumber daya, pengangguran, hingga diskriminasi.

Masyarakat adat di Indonesia merupakan bagian dari solusi aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim karena masyarakat adat memandang bahwa manusia merupakan bagian dari alam yang harus saling menjaga dan memelihara. Masyarakat adat memiliki pengetahuan bagaimana memelihara dan memanfaatkan sumber daya alam yang ada di habitat mereka, masyarakat adat juga memiliki hukum adat terkait hal tersebut dan memiliki kelembagaan adat. Contoh kearifan lokal masyarakat adat di Indonesia adalah suku Baduy Dalam tidak menggunakan produk yang mengandung bahan kimia dalam kehidupan sehari-hari, penerapan hukum Sasi oleh masyarakat Maluku dan Papua -dimana Sasi merupakan pengaturan waktu bagi penduduk setempat untuk mengambil hasil laut diwilayah adatnya-, pembagian hutan menjadi hutan adat, hutan larangan dan hutan perladangan oleh masyarakat suku Sakai di Riau (ilmu tiga hutan), perladangan Gilir Balik oleh masyarakat suku Dayak Bantian di Kalimantan Timur, larangan mengusik wilayah tertentu oleh masyarakat Sunda (pamali), dan masih banyak lagi kearifan lokal yang mendukung penjagaan alam.

Dalam perjalanannya mengelola lingkungan melalui kearifan lokal, masyarakat adat mendapat dukungan dari berbagai pihak, salah satunya adalah Global Environmental Facility (GEF) melalui proyek Small Grants Programme (SGP) dengan cara memberikan berbagai alternatif kegiatan yang diharapkan dapat memutuskan rantai permasalah lingkungan yang bersumber dari komunitas. GEF SGP Indonesia sudah bergerak sejak tahun 1997 bekerjasama dengan pemerintah Indonesia, yakni kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam menyelaraskan dan mendukung program pemerintah. SGP menyadari peran penting masyarakat adat dalam mengurangi dampak perubahan iklim.

Masyarakat adat dan komunitas lokal (Indigenous Peoples and Local Communities) telah diakui memiliki tradisi panjang dalam mengelola dan mengekstraksi sumber daya alam tanpa mengorbankan proses dan fungsi ekologis. Keberhasilan masyarakat adat dalam melestarikan lingkungan alamnya antar generasi, telah dicapai tanpa adanya larangan kepada masyarakat untuk memanfaatkan lingkungan sebagai sumber penghidupannya.

Peran negara

Indonesia dikenal sebagai negara dengan keberagaman adat dan budayanya, saat ini terhitung jumlah masyarakat adat diperkirakan sekitar 70 juta jiwa yang tergabung dalam lebih dari 1.100 suku.

Negara tidak pernah berada di ruang kosong. Negara selalu berada dalam sebuah relasi yang rumit dengan sejumlah konsep politik seperti ‘masyarakat’, ‘komunitas’, ‘yang berdaulat’, ‘pemerintah’, dan lain-lain. Semua konsep ini merepresentasikan realitas sosial dengan klaim-klaim hak tertentu, otoritas yang bersifat internal, dengan landasan hukum mereka sendiri, dan dengan kesaksian oleh masyarakat sekitar yang berhubungan dengan mereka. Pluralitas sosial mungkin merupakan fenomena yang mendahului kehadiran negara dalam wujudnya yang paling dini sekalipun. Demikian pula dengan situasi masyarakat di kampung-kampung tersebut, mereka telah ada sebelum lahirnya negara Indonesia. Di dalam realitas sosial seperti itulah negara hadir dari Sabang sampai Merauke. Meskipun pada masa kolonial negara telah hadir di wilayah ini, intensitasnya jauh berbeda dengan kehadiran negara Indonesia

Kehadiran negara ini ditandai terutama dengan adanya struktur pemerintahan negara yang menjangkau sampai ke kampung-kampung dan mengatur kehidupan suku-suku dan marga-marga.

Mengikuti berbagai uraian tentang hukum sebagai sebuah norma yang bersifat mengikat bagi sebuah ‘semi-autonomous social fields’, komunitas-komunitas kampung tersebut di atas pada prinsipnya memiliki hukum yang bersumber dari sejarah dan tradisi mereka, di samping mempraktikkan sistem hukum negara dalam persoalan tertentu, dan hukum agama (gereja) dalam situasi lainnya. Bahwa mereka merupakan sebuah masyarakat yang terorganisir secara politik10 dapat dibuktikan melalui konsep mereka tentang wilayah, struktur pengurusan diri sendiri (self-governance), adanya perangkat-perangkat kelembagaan dan aturan yang dibuat untuk itu, di luar struktur pemerintahan dan tata peraturan perundangan negara.