Ekspektasi Pernikahan

Pernah booming dimasanya tweet Yura Yunita tetang pernikahan, yang bikin saya tergelitik adalah bagaimana orang lain menanggapi tweet ini dengan kondisi dan keadaan masing-masing setiap rumah tangga yang mereka temui dengan sangat kreatif dan unik. Banyak bahagia juga tak sedikit yang getir, btw twitter banyak cerita getir tentang rumah tangga. Saya juga terkadang kalau iseng-iseng buka base area julid atau dunia pergibahan lainnya banyak nemuin masalah real life rumah tangga yang sangat-sangat getir.
Kadang jika kita memikirkan getirnya aja maka yang disebut bahagia akan menjadi sebuah cita-cita bahkan terkadang jika dipadukan dengan kondisi hati dan jiwa saya saat ini sebuah pernikahan bahagia menjadi sebuah cita-cita yang sangat sangat saya idamkan. Simpelnya begini, saya aslinya memiliki trust issue yang saya sendiri belum bisa memastkan kapan semua itu bisa sembuh. Ditambah beberapa drama keluarga yang hilir mudik lewat timeline sosial media serasa hidup saya tidak bisa libur dari drama keluarga kecil tak pernah bahagia.
Sebut saja sebuah pernikahan harus dilandasi dengan sebuah kepercayaan, karena alih-alih pondasinya kadang runtuh saat ikrar untuk bercerai dilancarkan hakim di meja pengadilan karena beberapa hal sepela bahkan kadang konyol. Saya hanya ingin sebuah pernikahan dipandang sakral dan terjadi sekali seumur hidup, jika memang gagal tidak apa gagal sebelum menikah saja jangan setelah menikah.
Repotnya jaman sekarang karena segalanya serba cepat dan dinamis terkadang pandangan tentang pernikahan menjadi sebuah utopia yang bahkan saya sendiri pun masih abu-abu memikirkannya. Apakah pernikahan saya kelak akan bahagia dan harmonis? Tentu tidak, saya sudah pasti mendapat banyak cobaan dari sebuah pernikahan. Namun, bagaimanapun keadaannya jangan sampai keputusan jelek kamidapatkan nanti.
Eh ngomongin tentang ekspektasi pernikahan sebelum berlanjut tentang trust issue saya sendiri gimana kalau baiknya saya beberkan saja beberapa ekspektasi pernikahan yang ada pada pandangan saya. Saya sih rajin sekali berekspektasi tentang pernikahan aslinya. Hahaha
Tak selalu Bahagia
Pernikahan bagi saya isinya seputar mikirin strategi bertahan hidup yang membedakan hanya perkara Visi dan Misi antar pasangan. Tidak akan selalu bahagia dan tidak akan selalu sedih, semuanya sesuai takerannya saja. Yang saya lihat dalam sebuah pernikahan berdasarkan pengalaman dan pengamatan di media sosial rata-rata sering menimbulkan pernyataan ternyata sebuah pernikahan gak melulu soal bahagia saja, juga gak melulu soal perasaan saja. Apalagi dengan luasnya media masa kita semua bisa dengan mudah mengakses semua dan segala informasi mengenai ini.
Makin kesini saya berpikir lagi ternyata pernikahan itu seperti itu, kadang tengkar, kadang seneng, kadang guyon-guyonan dll. Beberapa kasus juga sepertinya banyak membuat saya mikir ulang untuk menikah, bukan masalah OGAH nya tapi mikir dengan laki-laki yang seperti apa nanti saya menghabiskan sisa usia ini? Tentu banyak kasus yang melatarbelakangi saya berpikir demikian karena munculnya kasus yang negatif kehadapan saya. Paling parah yang pernah saya lihat tentang kasus perselingkuhan, KDRT dll dengan segala keburukan pasangan toxic.
Tak Harus Selalu Bersama
Ada beberapa pasangan yang nyaman dengan LDM juga ada beberapa pasangan yang tidak nyaman dengan kondisi ini, saya termasuk manusia yang tidak mau LDM dengan pasangan. Mungkin karena terllau lama sendiri dan hidup seorang diri jadinya saya ingin melakukan segala sesuatu bersama dengan pasangan, tapi sesuatu yang memang jika bisa berdua kenapa harus sendirian. Meskipun tidak menutup kemungkinan juga saya harusnya bisa melakukan semuanya seorang diri. Tapi plis, mas jodoh, klo misalnya kamu baca tulisanku ini tolong ya jangan bikin rumah tangga kita jadi LDM nantinya.
Ekonomi Paling Penting
Selalu saya ingat kata teman-teman yang sudah menikah bahwa apapun masalah keluarga pemicu utama adalah ekonomi. Pasangan LDM juga perkara ekonomi, pasangan selingkuh perkara ekonomi, pasangan KDRT juga kemungkinan perkara ekonomi dll. Ekonomi mungkin bukan yang paling utama tapi bisa saja yang paling penting. Saya sebenarnya memilih calon suami bukan dilihat dari segi ekonomi tapi semuanya juga butuh materi jika dirasakan, paling tidak bisa dibahas agar tidak ada salah paham diantara kita.
Agama Patokannya
Nah, saya capek nulis aslinya jadi asalnya semua kriteria bisa saja dimusnahkan asalkan agamanya baik dan lurus-lurus saja. Bukan berarti harus memiliki kriteria tertentu perkara agama misal harus atau wajib anak ustadz, hafalan minimal 20 juz, bisa baca kitab gundul dll meskipun bukan menjadi hal yang wajib dan harus namun ada beberapa hal yang lebih menarik timbang semua kriteria diatas. Karena pada dasarnya bagi saya laki-laki yang paham agama akan jauh lebih menarik dan terlihat di mata saya ketika dia paham dan mengamalkan agamanya sesuai dengan apa yang dia yakini.
Tak melulu harus mendadil dan lainnya, hanya berlaku adil terhadap ibu atau adik perempuan saja sudah cukup membuat saya terpikat.
Leave a Reply