Quiet Quitting : Say Bye to Loyalitas?

Quiet Quitting pertama kali digaungkan tahun 2009 yang konsepnya mirip dengan gerakan Tang Ping asal Tiongkok yang menentang budaya kerja berlebihan dan pasar kerja kompetitif. Dengan menerapkan batasan seperti tidak menyanggupi permintaan bekerja di akhir pekan atau melakukan pekerjaan ekstra tanpa banyaran lebih.
Metode ini memperioritaskan kesehatan mental pekerja serta menciptakan keseimbangan hidup antara pekerjaan dengan kehidupan pribadi. Work Life Balance sebutannya. Juga diyakini bisa menghindari kita dari Burnout wajah baru kesehatan mental yang kapan hari juga sempat buming di Indonesia.
“Jika seluruh hidup kita hanya untuk mengejar karier, kita mungkin tak akan menyadari telah bekerja lebih dari yang semestinya. Kita embutuhkan panutan yang lebih baik dan menemukan kesenangan di luar pekerjaan.”
– Jasleen Kaur Sachdev, Psikolog –
Apa saja lingkupnya?
Quiet Qutting sebenarnya melingkupi beberap hal seperti :
- Jobdesk overload dan dipastikan pekerjaan yang dilakukan tidak sesuai jobdesk tidak sama seperti skala gaji yang didapatkan
- Sering lembur tapi tidak ada reward (gaji lemburan) kesannya bernilai loyalitas
- Sering diganggu masalah pekerjaan saat sudah keluar kantor. Biasanya terjadi saat akhir pekan dan weekdays dengan rentang jam hampir tengah malam sampai dini hari.
Perlu Gak sih?
Untuk melihat perlu tidaknya Quiet Quitting ini sebenanya bisa dilihat dari beberapa indikator berikut :
- Apakah selama ini kamu masih punya waktu untuk menikmati hidup dan menekuni hal-hal di luar urusan pekerjaan?
- Apakah kamu selalu pulang dalam keadaan lelah sampai-sampai tidak sempat membersihkan badan sebelum tidur?
Jika ada dua indikator itu dalam kehidupan karier kita maka kita perlu mengevaluasi lagi kegiatan kita terutama dalam hal pekerjaan ini. Evaluasi dulu kegiatan keseharian kita, batasi pekerjaan yang bukan jobdesk kita dan pelan-pelan lepaskan diri dari aspek pekerjaan diluar skala gajimu sebelum akhirnya benar-benar melepaskan dari jerat hal-hal diluar kendali dan jobdesk sendiri.
Gimana caranya, Mbak?
Ajak atasan ngobrol tetang batasan-batasan yang perlu diterapkan jangan keburu takut ditolak obrolin aja sesuai dengan kenyataan yang ada. Bagaimana kita menanggapi dan menyelesaikan tugas dan tanggungjawab yang sudah diemban saat ini, sekiranya gak worth it maka lepaskan secara baik-baik dan kalem. Atasan pasti setuju dan menghargai usaha kita.
Sudah ngobrol dengan atasan? Saatnya ngobrol dengan HRD jika memang atasan tidak langsung follow up tetang jobdesk kita, yang perlu kita utarakan hanya kejujuran dari realita yang ada. Jika kamu belum memiliki pekerjaan maka saya sarankan teliti dulu kontrak kerja yang akan ditandatangani saat pertama kali masuk perusahaan. Ini bisa menjadi bahan acuan nanti jika pekerjaan kita overload diluar jobdesk kita sendiri.
Berbeda dengan Gen Boomber : Budaya Hustle
Sebagai generasi Z/Milenial maka sepatutya kita juga mengenal budaya hustle yang sudah berkembang beberapa tahun. Budaya hustle sendiir dinilai tidak mementingkan Quite Quitting ini karena bisa dipastikan generasi milenial lebih melek dan mudah mengasah keterampilan secara gratis. Berbeda dengan Gen Boomber yang lebih menikmati satu pekerjaan sampai masa pensiunnya nanti.
Kita memang perlu bekerja keras namun harus tetap cerdas. Gimana ceritanya kalau kita hanya bekerja keras aja tapi tidak bekerja secara cerdas? Burnout akhirnya.
Jadi gimana? Quiet Quitting bisa dibilang Say Bye to Loyalitas? Tulis jawabannya di kolom komentar
Leave a Reply