Seni Mengontrol Dan Mengelolah Ekspektasi

Saya menulis artikel ini setelah introspeksi diri kemarin. Tepat tanggal 30 Juli lalu saya kondangan ke kediaman rekan kerja, junior saya dan usianya terpaut 4 tahun lebih muda. Sangat berkesan mengingat dia laki-laki belum genap 25 tahun sudah berpikir untuk berrumah tangga. Sedangkan saya sudah 28 tahun untuk tahun ini dan hidup masih begitu-begitu saja. Belum sampai disitu, menghadiri pernikahannya membuat saya memutuskan banyak hal salah satunya saya harus merelakan dan memaksa diri memakai dress bahan mosscrepe berlapis organza yang saya niatkan akan saya pakai nanti untuk acara lamaran saya.

Yang bikin saya mikir sekaligus sedih, dress yang saya maksud sudah saya beli sejak 2019 dan tahun 2022 ini belum saya gunakan sama sekali.

Ya, tahun 2019 lalu saya sudah meniatkan diri membeli dress untuk acara spesial saya nanti yang saya pikir dengan itu semoga saja Allah segera mendatangkan jodoh saya. Waktu itu saya masih bersama mantan, jadi saya berharap mantan segera datang untuk melamar saya meskipun kenyataannya malah kandas ditahun 2021. Tak perlu berpikir panjang dan tak perlu berlama-lama ibu saya meminta saya untuk memakai baju itu meskipun hanya untuk menghadiri kondangan biasa.

sideofliya.com : Saya Yang Pegang Bunga

Diantara semua yang ada pada foto, hanya saya yang usianya sudah di atas 25 tahun dan hampir kepala 3. Saya juga tak menyangka ternyata di usia segitu saya masih disibukkan dengan pekerjaan dan aktifitas ngeblog untuk mengisi waktu luang. Padahal jika mengingat kembali ada banyak target yang harus saya kejar sebelum usia 30 tahun. Dan semuanya lenyap setelah tragedi patah hati di usia 27 tahun lalu. Saya tidak sedang baik-baik saja, saya lelah bahkan saya juga sudah muak. Ekspektasi menikah sekitar usia 25 tahun lenyap sudah, hangus dengan cara membuang waktu bersama orang yang salah selama ini.

Terus terang saya kecewa, banyak ekpektasi yang saya berikan saat di usia 25 tahun lalu melayang ntah kemana. Saya ingin sebelum usia 30 tahun saya sudah menikah dan sudah umroh, minimal menikah dan nyatanya seperti ini. 28 tahun menjomblo dan belum paham betul aslinya hidup saya akan dibawa kemana nantinya? Meskipun perkara jodoh urusan Allah tapi saya yakin jika suatu saat nanti saya bisa bertemu tapi bukan mepet 30 tahun begini. Namanya juga ekspektasi, pada akhirnya harus saya ikhlaskan mau tidak mau.

Mengelola Ekspektasi

Sebenarnya saya ndak kecewa amat karena memang ekspektasi saya pun hanya sekedar Saya belum berhasil menikah usia 25 tahun. Artinya masih ada usia dibawah 30 tahun jika ingin melanjutkan ekspektasi dan impian. Sejauh yang saya lakukan hanya berusaha husnudzon dengan ketentuan Allah, perihal dress yang sudah terpakai semoga bisa dipakai kondangan lagi kedepannya. Saya juga mikir kenapa ndak nyewa karena memang saya ingin acara lamaran saya nanti sederhana, lebih khidmat dan tidak terusik dan diberatkan dengan berbagai macam acara yang menguras tenaga.

Meskipun begitu sangat manusiawi saya memiliki ekspektasi tinggi pada kehidupan pernikahan saya kedepannya dan appaun itu tak melulu pernikahan. Dari sini saya mulai belajar bahwa ekspektasi bisa dikelolah dan bisa diminimalisir

Manfaat Mengelola Ekspektasi

Saya juga tidak tau apa yang harus dijelaskan dalam mengelola ekspektasi karena ekspektasi sendiri datangnya dari diri kita, dari pikiran kita sendiri. Yang bisa saya sampaikan apapun yang sudah keluar dari pikiran kita itu semua sepenuhnya tanggungjawab kita sendiri dan bagaimana cara kita mengelolah dan mngemban tanggungjawab itu dengan sebaik-baiknya agar tidak menganggu dan menyiksa diri kita sendiri nantinya.

Baru saja say ikut pendaftaran Pendamping Sosial PKH milik Kemensos Ri karena memang sesuai dengan jurusan kuliah saya Kesejahteraan Sosial, ntah saya juga tidak berekspektasi terlalu tinggi karena memang NIK pendaftaran saya salah 1 angka. Astaghfirullah, saya juga baru menyadari setelah saya tutup dan kirim lamaran di website KemensosRI. Ekspektasi yang terlalu tinggi tiba-tiba saya rendahkan dan berani berdoa setinggi-tingginya semoga lolos dan saya mendapatkan keajaiban kedepannya. Aamiin

Ekspektasi Kita

Terkadang kita bisa tersiksa oleh ekspektasi diri kita sendiri sebelumnya, berekspektasi usia sekian harus begini begitu. Padahal rencana kita belum tentu diterima sang pemilik skenario terbaik.Bisa saja target menikah saya usia 25 tahun waktu itu namun Allah ijabah diusia 29 tahun. Siapa yang tau? Yakan? Itu hanyak ekspektasi perihal menikah, belum ekspektasi lainnya yang lebih menguras tenaga.

Mulai hari itu saya kembalikan seluruh niat dan usaha saya dengan niat yang baik saja, meminimalisir ekspektasi terlalu tinggi pada manusia, tetap berikhtiar sebaik mungkin dan husnudzon kepada Allah apapun rencana dan skenario-Nya nanti. Karena menjadi budak ekspektasi itu melelahkan.

Bagaimana cara agar belenggu ekspetasi tidak menghambat langkah kita kedepannya? Belajar dari pengalaman setidaknya ada beberapa hal yang bisa dicontek

  1. Menyadari datangnya ekspektasi tersebut, semua orang memiliki ekspektasi dan ekspektasi datangnya tidak terduga saat kita memiliki harapan lebih pada sebuah realita. Sah sah saja sebenarnya namun harus tetap dikelolah dan diterima ekspektasinya jangan keburu ditolak mentah-mentah tanpa tau cara mengelolahnya.
  2. Mengetahui batasan antara ekspektasi dan realita, menurut saya ada beberapa kalkulasi yang harus ditarik jika kita sudah bertabrakan dengan ekspektasi. Salah satunya memenuhi hati kita dengan pilihan-pilihan rasional yang matang.
  3. Mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk, namanya manusia jika dia sudah siap dengan ekspektasi maka paketnya juga harus siap dengan kemungkinan atau skenario buruk yang kita bangun sendiri. Agar bisa melapangkan dada dan pikiran nantinya maka harus kita kelolah juga urusan hati ini.
  4. Hindari menyimpulkan segalanya sendirian, segala sesuatunya harus dipikirkan terutama pilihan dan opsi-opsi yang rasionaldan matang.Setidaknya sebelum berkspektasi terlalu tinggi minimal kita bisa memperhitungkan beberapa kemungkinan terburuk kedepannya.
  5. Bahagia sewajarnya jika terwujud dan sedih secukupnya jika gak, Bersyukur dan tetap mawas diri kuncinya. Jika memang goals dan terwujud maka lebih baik bersyukur tanpa menggembor-gemborkan kebahagiaan. Juga demikian tidak terpuruk dengan keadaan jika segala ekspektasi melenceng dari target ekspektasi yang kita harapkan diawal.

Ekspektasi Orang Lain

Mengenai ekspektasi orang lain juga sama saja hal nya dengan ekspektasi kita terhadap diri kita sendiri, yang membedakan hanya kita tidak bisa mengendalikan ekspektasi yang mereka bangun terhadap kita. Jika mereka kecewa kita tidak bertanggungjawab atas segala macam kekecewaan yang berhasil mereka bangun. Kita hanya bisa berdoa semoga mereka segera diselesaikan rasa kecewa dan tidak nyaman terhadap kita.

Tak kurang memang sejatinya manusia pandai melebih-lebihkan segala sesuatu yang belum bisa dikendalikan sendiri dan belum pandai mengelolah bagaimana cara mengurangi pikiran tersebut kepada dirinya sendiri bahkan orang lain. Orang lain bisa berekspektasi apa saja tapi ingat kita tidak bisa menghakimi ekspektasi mereka an tidak ada satu tanggungjawab kita untuk meringankan kekecewaan mereka jika nantinya tidak menemukan titik temu ekspektasi yang sudah mereka bangun.

Bagaimana? Sudah siap berekspektasi? Saya sudah kapok dan saya lebih memilih menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah lewat jalur langit saja. Perkara jodoh, rizki, pekerjaan dan lainnya saya gantungkan segalanya kepada Allah tanpa berekspektasi terlalu jauh dan rumit. Saya hanya husnudzon Allah akan mengabulkannya namun diwaktu yang tepat dan bukan waktu sesuai request makhluk-Nya

Nih buat jajan

You Might Also Like

Leave a Reply