Merdeka Sebagai Perempuan

Siapa yang suka kesal dengan pernyataan “Udah mau kepala 3 kok belum nikah? Gak ada yang mau atau emang gak laku? Pilih-pilih mungkin” atau pertanyaan objektif lainnya yang menyudutkan perempuan sebagai individu yang banyak menerima diskriminasi gender akibat ekspektasi masyarakat kita sendiri? Kadang saya mikir, masyarakat kita bisa tidak dipahamkan dengan tidak semua pandangan dan pendapatmu itu bisa jadi standar hidup orang lain?
Perempuan, sebagai individu yang banyak disorot lewat gendernya. Masih terjajah oleh ideologi, stigma, dan ekspektasi ideal yang masih ilusi. Sebagai perempuan saya memilih merdeka dari hal-hal tersebut dengan pelan tetapi pasti, karna tak ada yang bisa menjamin dan siap menjadi jaminan hidup saya kecuali saya sendiri.
Mumpung masuk bulan Agustus dan bulan yang diklaim sebagai bulan kemerdekaan nih saya mau ngeluarin uneg-uneg yang sangat mengganggu pikiran. Misi utama blog ini kan memang menjadi sumbangsih sampah pikiran yang harus dibuang. Betul? Daripada dipendam dan sekedar buang percuma mending saya bagi lewat tulisan, siapa tau ada yang terindpirasi salah satunya saya ingin sekali menulis pilihan saya merdeka menjadi perempuan di bumi pertiwi ini.
Udah jangan panjang-panjang intronya nanti gumoh.. Hahaha
Perempuan dan Hal Klise
Ada beberapa hal klise masyarakat kita terhadap perempuan yang sudah berkembang di masyarakat kita yang nampak menjadi hal yang biasa namun aslinya tanpa kita sadari bernilai diskriminasi.
Bagi masyarakat kita idealnya menikah itu masuk usia di awal 20 tahunan. Betul? Sedangkan di akhir 20 mereka akan di cap sebagai perawan tua. Padahal siapa juga yang mau menjadi lajang di usia hampir kepala 3 ya? Belum lagi masalah pernikahan harus sesuai dengan kepentingan orang lain bisa dari segi marga, status sosial, tahta bahkan harta. Misal perempuan ningrat harus menikah dengan sesama ningrat, perempuan keturunan Arab harus menikah dengan laki-laki keturunan Arab. Duh!!
Banyak konotasi negatif yang disndingkan dengan status janda perempuan Indonesia seperti janda itu gatal. Percuman juga aslinya membicarakan status janda seseorang, karena tidak ada yang menginginkan menjadi janda. Semua orang juga memih memiliki kehidupan keluarga yang harmonis dan tentram namun apa sih yang bisa dipertahankan jika menjadi janda itu lebih baik daripada terjebak pada hubungan toxic dengan pasangan?
Perempuan dianggap tidak perlu berpendidikan tinggi karena nantinya hanya bertugas mengurus rumah dan anak. Padahal, mendidik anak membutuhkan kecerdasan IQ dan EQ. Stigma bahwa perempuan berpendidikan tinggi akan sulit mendapat pasangan hidup juga masih berkembang di masyarakat kita.
Cantik bagi mereka itu berkulit putih, bahkan kuning langsat dan sawo matang pun sudah mulai mendapatkan penilaian buruk. Cantik itu bertubuh ideal, tidak kurus juga tidak gemuk apalagi obesitas dan harus memiliki bentuk PD dan p*ntat dengan ukuran dan bentuk tertentu yang enak dipandang. Haaa.. basi sekali. Tujuannya hanya sebagai bahan ekspoitasi secara ragawi.
Laki-laki dinilai sebagai sosok dominan dan superior diantara perempuan, anak-anak dan lansia. Padahal anggapandemikian juga bernilai diskriminasi sebagai double standar terhadap kaum laki-laki. Laki-laki harus menjadi tangguh dan bisa menjaga perempuan sedangkan perempuan harus berada dibawah ketiak laki-laki untuk berlindung. Hey, bisa tidak pikiran ini disingkirkan dulu? Karena perempuan juga bisa tangguh dan laki-laki juga bisa nangis, lemah dan ketakutan dibalik sikap gagah dan tegarnya.
Perempuan akan dianggap sebagai perempuan urakan dan nakal ketika memakai pakaian dan gaya rambut tertentu seperti memakai hot pants, atasan singlet atau thank top, bertindik, bertatto, memakai pewarna rambut dan lainnya. Begitu juga sebaliknya ketika memakai cadar, jilbab besar, gamis atau abaya semua menutup aurat maka pandangan masyarakat kita menjadi berbeda dari perempuan urakan. Belum sampai disitu dengan penampilan seperti ini juga masyarakat kita menuntut untuk menjaga attitude, padahal sejatinya antara attitude dengan pakaian tidak ada hubungannya. Yang saya tau, semakin seseorang mengethui attitude yang baik maka semakin sederhana pula penampilannya.
Masyarakat kita nih lagi-lagi memiliki standar yang gak masuk akal. Dikatakan sudah menjadi seorang ibu seutuhnya jika melahirkan bayinya secara normal padahal melahirkan secara SC maupun pervaginaman memiliki resiko dan konsekuensi yang sama-sama beratnya loh. Perempuan belum bisa dikatakan siap menikah jika tidak bisa bangun pagi, belum menjadi istri yang baik tidak bisa masak, belum bisa dinilai istri sempurna jika tidak punya anak. Ribet amat hidup menjadi perempuan di mata masyarakat kita ya?
Bermake up menjadi simbol untuk menggoda lelaki. Padahal bermake up itu bagi saya merupakan bentuk self-love yang menimbulkan rasa puas dan apresiasi atas pencapaian diri sendiri. Saya juga suka melihat perempuan-perempuan indonesia cantik dengan make up apalagi make upnya dibentuk sedemikian kreatifnya sesuai skill dan kemampuan. Bermake up itu bukan untuk menarik perhatian ya tapi untuk memantaskan diri juga, sejauh mana kita bisa megoreksi kekurangan lewat make up tersebut.
Karena lemah dan tidak bisa bersuara atau membela, perempuan lebih rentan dilecehkan dan pantas dilecehkan. Sebut saja seperti maraknya kasus pemerkosaan, pencaulan dan eksploitasi lain yang melibatkan perempuan sebagai korban tidak banyak dari masyarakat kita lebih mengobjektifitas perempuan saat menjadi korban. Padahal belum tentu semua salah perempuan, “Kan dia pakaiannya emang begitu, ya pantas aja dilecehkan.” Sini saya ruqyah dulu biar sadar!
Masyarakat kita lebih suka dipuaskan bahwa perempuan kodratnya diam saja, apalagi jika bersinggungan dengan budaya patriarki. Perkataannya menjadi pertimbangan nomer sekian setelah laki-laki, ruang geraknya juga susah di pijaki bahkan tidak bisa berdiri di kakinya sendiri. Semua keputusan ada ditangan lelaki atau suami. Ibaratnya dalam bahasa Jawa “surga nunut neroko manut“. Belum lagi kasus perempuan sebagai korban, setelah menjadi korban dan dieksploitasi secara masif oleh masyarakat bahkan media perempuan bahkan tidak memiliki cara untuk bersuara dan berpendapat mengenai hak dasar mereka.
Ruang gerak perampuan cenderung dibatasi,aktifitasnya terbatas, suaranya dicekik. Bahkan untuk sekedar memilih ingin memiliki pendidikan tinggi, perempuan harus melewati jalan terjal sambil terseok-seok. Belum lagi karena double standar, perempuan banyak dirugikan akibat standar laki-laki harus otoriter dan memiliki keputusan diatas perempuan. Banyak kasus pula perempuan lebih terkungkung saat menghadapi sebuah keputusan karena mementingkan pertimbangan lelakinya, keluar dari hubungan toxic misalnya perempuan akan lebih ikhlas mempertahankan daripada melepaskan.
Apa saja belenggu patriarki yang mengikat gerak perempuan? Seorang istri, misalnya, harus menurut kehendak suaminya dan tidak memiliki ruang berdiskusi. Ketika seorang istri mencoba bersuara maka suaranya cenderung dicekik secara kasar dan masif. Anggapannya sebagai istri yang tidak memiliki sopan santun dan adab terhadap suami.Kasus demikian terkadang menjadi awal mula KDRT yang ada pada kehidupan rumah tangga keluarga Indonesia.
Perempuan dan Ideologi
Dari dulu hingga sekarang perempuan selalu memiliki nasib yang serupa, dipasung dan terperdaya. Sampai-sampai sudah menjadi Tuhan pun (Dewi, dalam mitologi Yunani) perempuan masih menjadi pesuruh Tuhan laki-laki (Dewa). Dalam kepercayaan bangsa Yunani kuno, Dewi adalah pesuruh Dewa. Ada beberapa penanggung jawab peran perempuan salah satnya negara dan agama.
Pada tahapan negara meskipun sudah mewadahi perempuan dalam berekspresi memiliki ideologi seperti ideologi Feminism ditingkat komunitas, organisasi bahkan partai, tindak kekerasan dalam masyarakat tak lepas dari berbagai kebijakan negara-negara yang secara simbolis. Negara kerap tutup mata pula saat mengeksploitasi perempuan sedemikian rupa baik segi sosial, budaya, pendidikan dan lainnya termasuk memanfaatkan perempaun secara komersil.
Tapi pada saat yang sama sebenarnya negara juga memiliki peran melakukan transformasi sosial perempuan dengan mengubah sikap dan pandangan ideologisnya, sehingga perempuan menjadi bagian dari komunitas sosial yang penting di tengah-tengah percaturan global-dunia. Pemimpin negara tidak hanya sekadar mampu melakukan transformasi sosial-perempuan, melainkan wajib melakukan itu sebagai bentuk komitmennya terhadap warga-bangsa dan penegakan nilai-nilai keadilan serta demokratisasi.
Masih ada lagi faktor lain yang menyebabkan ketidaberdayaan perempuan selama ini, yaitu dalam konteks ideologi agama. Perempuan seringkali ragu untuk melawan ketidakadilan, baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun suaminya sendiri karena doktrin dan pemikiran agama yang dianggap sakral dan tidak boleh dilawan. Keraguan itu muncul akibat banyaknya doktrin yang sebenarnya bersifat spikulatif, namun cukup banyak membuat perempuan tunduk dan pasrah.
Di Indonesia misalnya, tak sedikit kitab klasik/kuning yang berisi ajaran serupa ini. Salah satunya yang terkenal adalah kitab Uqud al-Lujain yang ditulis oleh Imam Nawawi, seorang ulama’ Banten pada abd 19. Kitab ini sampai sekarang masih menjadi kitab utama sejumlah pesantren, bahkan sangat disakralkan. Padahal kitab tersebut banyak memuat hadis-hadis yang tidak dapat dipertanggungjawabkan validitasnya (dhaif).
Persoalan lain yang lebih mendasar terletak pada pemilahan secara dikotomis antara peran laki-laki dan perempuan yang secara kokoh dikontraskan pada peran publik dan privat. Baik dalam al-Qur’an maupun dalam hadis dan ajaran para ulama’ pemilahan peran dan lokus secara dikotomis ini berlaku sangat ketat. Perubahan peran perempuan masuk ke sektor publik seperti menjadi pemimpin negara atau pencari nafkah seringkali dianggap sebagai “penyimpangan” atau masuk dalam kategori “darurat”.
Perempuan dan Stereotype
Stereotype dikenal dengan penandaan atau pelabelan seseorang atau suatu kelompok yang hanya berdasarkan persepsi terhadap kelompok tertentu. Stereotype selalu merugikan dan menimbulkan diskriminasi. Kadang stereotype diberikan kepada kelompok tertentu seperti suku, ras, agama bahkan gender bisa menjadi objek stereotype. Salah satunya jenis pelabelan ini adalah yang bersumber dari pandangn terhadap salah satu gender. Sebenarnya dalam hal stereotype merugikan perempuan dan laki-laki, termasuk dengan cara membesarkan anak perempuan dengan mengajari mereka untuk menjadi ‘kecil’.
Mereka mengatakan bahwa anak perempuan tidak boleh mempunyai ambisi dan pendidikan yang terlalu tinggi dan dipaksa untuk bergelut dengan ilmu sosil dan urusan domestic yang tidak jarang disebut dengan 3R (Dapur, Sumur dan Kasur). Begitupun sebaliknya yang terjadi pada anak laki-laki yang dibesarkan dengan dorongan dan tuntutan bahwa mereka harus kuat, menghindari ketakutan dan menjadi tangguh.
Stereotype ini dilandaskan pada penafsiran yang kadang didapatkan atas dasar persepsi dan latar belakang kultur atau budaya kita. Pada masa prakolonialisme perempuan memikul beban penindasan yang bertubi-tubi karena selain mengalami penindasan gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras dan agama. Perempuan sudah tersubordinasi akibat stereotype yang dilekatkan kepada perempuan seperti anggapan masyarakat bahwa tugas yang harus dipriotaskan oleh kaum perempuan adalah melayani suami. Stereotype seperti ini yang dianggap hal yang lumrah oleh masyarakat yang mengakibatkan perempuan dari segala aspek selalu dinomor duakan.
Perempuan pada masa itu selalu diciri khususkan sebagai manusia yang lemah lembut, santun, patuh dan terlebih lagi mereka diajari untuk menjadi malu. Tutup kaki, tutup tubuhmu, tundukkan pandanganmu dan tetaplah dirumah, seakan-akan perempuan itu sendiri terlahir sebagai sebuah aib.
Perempuan dan Stigma
Sejak dulu, Indonesia telah memiliki latar belakang sejarah bahwa seorang perempuan selalu dipandang berada dalam strata kedua. Masyarakat memandang perempuan hanya memiliki peran di dapur, kasur, dan sumur, sebuah budaya yang mengakar hingga saat ini. Hal tersebut tentunya sangat membatasi gerak seorang perempuan dalam menjalankan segala aktivitasnya.
Pembatasan ruang gerak tersebut di antaranya dengan menjadikan perempuan sebatas pekerja domestik. Perempuan dianggap tidak memiliki kesetaraan dengan sosok laki-laki, sehingga tidak miliki banyak kesempatan sebagaimana laki-laki.
Menilik teori belenggu stigma masyarakat, terdapat perbedaan pendapat dan perdebatan mengenai pemikiran feminis, di antaranya didasarkan atas alasan misalnya akar kebudayaan patriarki dan dominasi laki-laki. Selain itu, dalam resolusi final atas perjuangan perempuan akan non-eksploitasi lingkungan, kebebasan kelas, latar belakang, ras, dan gender menunjukkan adanya gerakan yang berusaha melihat wacana patriarkhal yang tampil agresif terhadap perempuan atau sebaliknya justru tidak memasukkan persoalan-persoalan perempuan di dalamnya.
Teori yang lebih dalam lagi dilihat dari segi feminisme liberal ialah terdapat pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Alison Jaggar dalam bukunya, Feminist Politics and Human Nature, mengemukakan bahwa dalam pemikiran kaum liberal, sifat asariah manusia yang unik adalah kemampuan rasionalitasnya. Setiap manusia mempunyai kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan agar terbebas dari akar ketertindasan dan keterbelakangan.
Mengubah stigma masyarakat perlu dilakukan secara terus-menerus. Perempuan juga perlu memegang kendali anggaran rumah tangga dan punya hak mengontrol tubuhnya. Dengan begitu, perempuan punya kekuatan menentukan masa depannya dan dapat membuat dunia berubah lebih baik. Namun, sistem sosial selalu berperan dalam menentukan wajah dan peran perempuan sesungguhnya, mau menjadi apa perempuan dan generasinya. Oleh karena itu, semua elemen dalam masyarakat harus memiliki peran aktif dalam menghapus kultur yang mulai “usang” dan diskriminatif. Sebab, pada hakikatnya perempuan membutuhkan dukungan untuk bangkit dari belenggu diskriminasi yang membatasi ruang geraknya.
Perempuan dan Diskriminasi
“Diskriminasi : sebuah perlakuan pembatasan secara sengaja, terstruktur dan mengekang“
Mbak Liya
Di Indonesia perempuan masih rentan terhadap diskriminasi, mereka dinilai sebagai sosok yang rentang menerima kekerasan dari berbagai pihak. Karena posisi mereka yang dianggap lemah dan tak berdaya. Jika ditelurusri lebih dalam lagi,angka kekerasan terhadap perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Hal ini juga berdampak pada tindak kekerasan seksual, pemerkosaan, perdagangan perempuan dan KDRT.
Penyebab kekerasan pada perempuan setidaknya mencakup beberapa hal berikut :
- Diskriminasi Gender
- Budaya Patriarki
- Pemahaman bias terhadap agama
- Tatanan hukum yang belum memadai
Beberapa bentuk diskriminasi yang ada pada perempuan bisa dibedakan menjadi dua yaitu diskriminasi secara langsung dengan diskriminasi secara tidak langsung. Diskriminasi langsung terjadi jika sesorang diperlakukan secara berbeda akibat perilaku atau sikap dari suatu aturan, sementara diskriminasi secara tidak langsung terjadi melalui suatu kebijakan atau peraturan yang berakibat hanya pada jenis tertentu.
Ada pula diskriminasi sistematik, yaitu terjadi dari hasil ketidakadilan yang berakar dari sejarah, adat, norma atau struktur yang dibuat oleh masyarakat yang kemudian diwarisi oleh generasi selanjutnya.
Saatnya Merdeka
Perempuan bisa merdeka dari kekerasan, seperti kekerasan dan pelecehan seksual, kekerasan berbasis gender yang dilakukan diruang publik, diruang terbuka dan ruang umum oleh orang tak dikenal. Sampai kapan perempuan harus memenuhi standar hidup yang kalian buat sendiri padahal kalian pun luput dari semua kriterian standar itu? Kita memiliki nyawa, suara dan hak-hak lainnya yang bia kita perjuangkan dengan baik agar mencapai sebuah kemerdekaan menjadi perempuan dari berbagai macam belenggu.
Sumber :
Leave a Reply