Tentang Pernikahan : Keputusan Siapa?

Masyarakat kita, agaknya bisa dibilang masyarakat mainstream pada umumnya mungkin kita salah satunya. Menilai bahwa sebuah pernikahan menjadi suatu goal yang harus dicapai sebelum usia tertentu. Mengacu pada batas minimal usia menikah yang ditetapkan pada UU No. 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan menjelaskan bahwa perkawinan bisa dilaksanakan jika keduanya sudah mencapai usia 19 tahun. Sedangkan masyarakat kita lebih bisa dipuaskan dengan budaya yang sudah berkembang bahwa menikah bisa dilakukan bahkan sebelum usia anak menginjak 19 tahun.
Dari sini sudah jelas terlihat bahwa kita disuruh untuk menikah ketika sudah mencapai usia tertentu. Atau dianggap sudah mampu dan pantas menikah jika kita ‘terlihat’ memiliki pekerjaan yang mapan dan juga ketika sudah dinilai sukses oleh masyarakat kita. Hal ini jelas menjadi pemicu bahwa sebuah hubungan bisa dinilai Happy Ending ketika sudah berujung pada sebuah pernikahan. Terlebih lagi jika selama ini kita sering ‘terlihat’ sering menggandeng pasangan.
Apa Rasanya Menikah?
Saya ndak tau. Karena saya belum menikah. Hahaha
Tapi melihat beberapa pengalaman hidup orang-orang disekeliling saya sendiri pernikahan itu banyak macamnya. Bukan hanya itu, beberapa drama rumah tangga juga kerap kali saya saksikan di media sosial. Yang paling fundamental adalah twitter. Ntah kenapa saya lebih nyaman nongkrong di aplikasi Burung Biru itu, atau jangan-jangan karena kicauan disana lebih berat dan stabil untuk mengulik sebuah permasalahan. Review kehidupan manusia akhir zaman. Hahaha
Drama Varian Genre
Dari Burung Biru itu beberapa kali saya memergoki drama-drama rumah tangga varian genre, mulai dari Komedi, romance, thriller, action sampai adzab illahi. Beberapa drama-drama rumah tangga kerap bikin saya mikir, “Rumah tangga memang seperti itu. Gak mutlak bahagia, juga gak utlak sedihnya. Tergantung gimana kitanya menghadapi semua itu bareng pasangan atau keluarga.” Beberapa drama rumah tangga juga kerap kali menghantui pikiran saya, bukan sebagai momok menyeramkan tapi kedepannya bahkan sebagai introspeksi diri bahwa diri ini juga butuh improvement agar lebih meminimalisir keadaan yang seperti itu. Exercise every day Long Life Education, hiaaaak!!!
Jika bisa dijelaskan lagi secara spesifik kita pasti tidak asing lagi melihat bagaimana rusaknya sebuah keluarga akibat terlalu banyaknya campur tangan dari keluarga besar. Ada saja komentar-komentar ataupun keputusan-keputusan yang diambil berdasarkan arahan orang lain selain pasangan itu sendiri. Sebut saja insight dari orangtua, mertua, paman, tante, sepupu dan lain-lain. Padahal keputusan tersebut belum tentu terbaik.

Terlalu riskan jika mengambil sebuah keputusan rumah tangga karena pengaruh diluar pasangan. Karena sejatinya keputusan yang terbaik untuk sebuah keluarga adalah keputusan yang diambil oleh pasangan itu sendiri juga karena yang paling tahu kebutuhan tersebut sebenarnya adalah mereka berdua.
Belum lagi drama lain yang banyak saya temui seperti tentang drama perselingkuhan misalnya, saya juga kadang gedeg sendiri melihat beberapa pelaku dan korbannya. Bisa-bisanya menodai kesucian pernikahan dengan perilaku demikian.
“Saat menikah bukan lagi perkara Happy Ending sebuah hubungan. Lantas apa yang mau mereka gembor-gemborkan?“
Mbak Liya
Setidaknya jika memang belum bisa menjadi teladan yang baik dalam hal pernikahan jangan membuat para single-lillah seperti ini berpikir ulang untuk menjalin sebuah ikatan pernikahan. Saya juga manusia yang kadang tergelitik untuk overthinking. Tapi saya juga manusia yang tidak bisa menghadapi pikiran dan prasangka saya sendiri.
Diorama Mantan
Jujur saya sendiri sempat mengalami Trust Issue, Mungkin banyak yang berpendapat saya ini aneh. Iya ndak apa saya terima. Banyak juga yang seperti saya kok tapi mereka diam, ujung-ujungnya mereka selektif dengan sendirinya. Takut jika suatu saat dia salah memutuskan sebuah hubungan pernikahan, begitu pula dengan saya. Ada beberapa ketakutan tersendiri perihal pernikahan yang berkaitan dengan Trust Issue ini.
- Takut Salah Pilih Pasangan. Ada 3 jenis laki-laki yang menjadi Red Flag dalam sebuah pernikahan menurut saya sendiri. Peselingkuh, Manipulatif dan Tempramental.
- Takut dapat suami peselingkuh. Jujur karena dari hubungan sebelumnya saya pun pernah menjadi korban perselingkuhan jadi kedepannya saya menjadi lebih berhati-hati lagi.
- Menganggap semua laki-laki sama saja. Ketika ada orang lain yang bertanya “Bagaimana kalau dia berbeda dari yang kamu pikirkan?” saya akan lebih bersyukur dan berterima kasih kepada Allah dan semesta yang sudah menemukan saya dengan dia
Penyebab Trust Issue yang ada pada diri saya adalah perlakuan mantan saya (bukan bermaksud play victim dan mengumbar aib namun memang seperti itulah kenyataannya). Trust Issue juga bisa terbangun dari interaksi saya selama ini di kantor. Ah sudahlah pasti sebagian dari reader juga sudah bisa meraba bagaimana ujung cerita jika tersangkut dengan dunia kerja.
Selain itu tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan, mau se-perfect apa kita semuanya akan musnah dengan sendirinya jika memang si laki-laki tidak ada pikiran untuk berpaling. Apakah semua ini hanya terjadi pada laki-laki? Apakah perempuan tidak ada yang berpaling dari pasangannya? Jawabannya tentu ada namun yang paling banyak dan mencuat dipermukaan adalah kasus dengan pelaku laki-laki. Atau jangan-jangan saya belum banyak menemukan kasus demikian?
Pertimbangan Menikah
Menikah bukan untuk ajang coba-coba atau lomba-lomba siapa cepat dia pemenangnya. Begitu pun ketika memutuskan untuk memiliki anak. Perlu persiapan, pandangan dan pemikiran yang matang dan panjang apakah diri kita sudah mampu dan cakap ketika nanti menghadapi mahligai rumah tangga?
Belum “Hatiku Berhenti Di Kamu!”
Saya sudah mengazamkan diri untuk menghindari hubungan dengan lawan jenis yang tidak tau arahnya mau kemana sejak hubungan saya yang terakhir berakhir dengan lugas dan tegas. Tentu, diusia saya yang sudah hampir kepala 3 ini saya semakin berpikir mendalam mengenai sebuah hubungan. Saya sudah lelah dan saya inginnya yang pasti saja, berharap yang tidak jelas memiliki caranya sendiri untuk mundur teratur dari kehidupan saya. Sebenarnya ada beberapa pertimbangan juga, “Apakah sama sekali tidak ada manusia yang mengganggu pikiranmu akhir-akhir ini?“.
Ada, dia sosok masalalu yang saya sendiri tak tau hati dan perhatiannya untuk siapa. Namun, saya sadar bahwa tidak baik mengharapkan sebentuk cinta makhluk-Nya yang bersyarat dan banyak kurangnya itu. Biar saya saja yang menyimpannya tanpa mengharapkan sesuatu yang berlebihan didepan umum, meskipun nyatanya hanya saya dan Tuhan saja yang tau.
“Agar kelak tak berbentuk berhala.”
Mbak Liya
Keputusan Menikah
Nyatanya semakin saya berkeinginan untuk menikah maka semakin saya tidak percaya diri untuk menikah, semakin saya memantaskan diri semakin saya merasa tidak pantas untuk menikah.Ada beberapa pemikiran yang membuat saya berpikiran seperti ini, beberapa diantaranya sangat menggelitik bahkan kadang cenderung tidak masuk akal. Pemikiran seperti ini juga melatarbelakangi persepsi saya tentang orang tua pada kesiapan anaknya sebelum menikah. Ada berapa banyak orangtua yang mengajarkan kepada anaknya bagaimana cara berumahtangga yang baik di kemudian hari? Ada berapa banyak orangtua yang betul-betul mempersiapkan anaknya secara matang agar bisa membina rumah tangga yang bisa langgeng sampai tua nanti?
Tentu, karena masalah rumah tangga bukan melulu perihal yang terlihat saja. Tidak ada jaminan bahwa jika sudah mapan kemungkinan besar rumahtangganya akan langgeng. Tidak ada jaminan bahwa jika dia rupawan kemungkinan besar rumahtangganya akan harmonis. Tidak ada jaminan bahwa jika sudah memiliki anak kemungkinan besar rumahtangganya akan bahagia. Tidak ada jaminan bahwa jika kedua pasangan mandiri kemungkinan besar rumahtangganya akan damai dan stabil. Banyak pertimbangan saya yang belum tentu bisa dipikirkan oleh orang lain.
Persiapan Mental
Belum menikah saja ujian mental sudah sekitar “Kapan nikah?” apalagi setelahnya? Yakin akan indah pada waktunya? Tak bisa dipungkiri bahwa menikah juga idaman bagi setiap manusia tapi saya sendiri berpikir, bangun mental yang seperti apa yang harus saya kerahkan lagi? Beberapa ego dan ekspektasi tentang “Wujudkan Pernikahan Impian Sesuai Ekspektasimu.” mulai saya kurang satu persatu. Sejak 2018 lebih tepatnya 2 tahun setelah kelulusan S1, saya sudah merencanakan bahwa dunia ini sudah bukan perihal bagaimana kita menjadi bahagia pada sebuah pernikahan.
Dari banyaknya drama rumah tangga saya semakin yakin bahwa kesiapan mental juga berpengaruh pada kondisi dan kesehatan hubungan pernikahan. Semakin yakin jika membangun mental tidak ada habisnya, hal-hal diluar ekspektasi dan kemampuan manusia cenderung masuk tanpa kita inginkan. Yang kita perlukan hanyalah memfilter semua itu dengan mental sebaja mungkin, sebut saja seperti :
- Memahami Mertua. Jika saya seorang perempuan maka bagaimana caranya agar meminimalisir cekcok dan salah paham dengan mertua. Memiliki orang tua saja tidak lepas dari perselisihan padahal masih ada hubungan darah diantara kita, apalagi dengan mertua yang sama sekali asing dan baru. Bersyukur jika mertua sama halnya seperti ibu saya yang memandang “Semua menantuku sudah kuanggap layaknya anakku. Karena aku tau aku punya anak perempuan juga yang nantinya memiliki mertua. Syukur-syukur mertua dia sama seperti aku dan berharap semoga kelak anakku punya mertua yang baik dan bijaksana.” Sudah siap?
- Memahami ipar. Ketakutan terbesar saya adalah memiliki ipar perempuan dengan posisi kakak. Saya juga kurang tau kenapa demikian mungkin karena bisa saja memiliki ipar perempuan itu porsi ‘bicara’ nya melebihi mertua perempuan. Tidak jarang ipar juga menjadi sumbu kompor dalam drama rumah tangga. Takuuut!!!
- Kebahagiaan. Saya juga gak berekspektasi terlalu tinggi terhadap kebahagiaan pasca menikah karena memang tujuan menikah aslinya bukan untuk mencari kebahagiaan. Sampai akhir hayat hanya bagaimana cara kita bekerjasama membangun dan memantaskan diri menjadi yang terbaik dikelasnya, bukan menjadi pemenang. Secara general sebuah pernikahan tidak pernah akan baik-baik saja juga tidak selamanya tidak baik-baik saja, semuanya pasti ada gejolaknya. PR kita saja bagaimana mengkondisikan mental bahwa pernikahan bukan untuk bahagia.
- Siap mental menghadapi masalah ekonomi. Tidak semua suami pelit dengan istrinya, juga sebaliknya. Saya hanya takut jika suami saya tidak bisa meletakkan sesuai porsinya. Untuk mengelola ekonomi bisa kita jalankan berdua. Tidak ada jaminan ekonomi akan lancar-lancar saja dan tidak ada jaminan ekonomi selalu merosot. Setidaknya saya juga paham bagaimana ekonomi berputar sejak hari ini.
- Menghadapi Anak/Keturunan. Terus terang saya belum siap menghadapi cobaan yang datang dari anak. Ntah itu belum dikaruniai anak, atau dengan keadaan anak dengan kondisi tertentu. Saya elum siap dan belum memikirkan sejauh itu. Tapi saya sudah menyiapkan segala sesuatu untuk anak saya minimal pendidikan dan bahu yang kokoh untuk kesejahteraan anak kelak.
- Menghadapi Tabiat Suami. Saya pernah berpikir semoga bukan orang lain yang menjadi pemicu pertengkaran, saya berharap semoga sejelak apapun kelakuan suami semoga bisa berubah. Setidaknya meskipun ada pertengkaran tapi apinya cenderung kecil dan tidak sering.
- Merencanakan Masa Depan. Saya takut dengan masadepan yang jelek, sebisa mungkin saya ingin menciptakan masa depan yang baik dan indah. Meskipun saya juga tetap harus meminimalisir ekspektasi yang terlalu tinggi terhadap masa depan namun saya tetap harus berkomitmen untuk mengusahakan masa depan yang lebih baik bersama.
Persiapan Materiil
Terus terang saya juga harusnya menyiapkan materi sebelum berangkat menuju sebuah pernikahan. Saya juga harus memulai apa yang bisa saya mulai untuk saat ini. Mulai dari membuat tabungan jangka panjang, jangka pendek, dana mendesak dan lainnya seperti persiapan finansial lainnya setiap hari. Namun, saya sendiri belum sepenuhnya yakin bisa memenuhi kebutuhan materiil terutama kebutuhan motor. Saya memang ditakdirkan belum memiliki motor sampai usia saya yang 28 tahun ini dengan beberapa alasan tentunya. Bahkan untuk bekerja pun setiap hari saya siasati dengan jalan kaki, lumayan juga bisa sekalian olahraga.
Untuk kebutuhan rumah, saya juga belum bisa menyanggupi. Selama ini saya hanya menumpang pada rumah orang tua. Namun, untuk biaya pernikahan akan saya usahakan ada dana dari saya sendiri.
Persiapan Ilmu : Parenting
Sejak 2018 saya sudah memulai belajar bagaimana ilmu parenting berperan pada kehidupan rumah tangga. Bukan hanya ilmu parenting tapi ilmu menjadi anak dan menjadi pasangan juga kerap saya pelajari. Bagaimana cara menjaga kehidupan rumah tangga yang harmonis, bagaimana mendidik anak dan belajar bareng suami, bagaimana caranya mencari suami yang baik dan lainnya.
Bagamana agar anak tidak mengidap trauma, bagaimana agar anak memiliki perkembangan sesuai usianya dan lainnya. Semuanya saya pelajari. Tapi nyatanya sama saja jika suami kita juga tidak paham bagaimana ilmu parenting berperan dikeluarga sendiri.
Persiapan Agama
Selain ilmu parenting saya juga setiap hari sudah mengasah ilmu agama bahkan sejak lulus SD saya sudah berfokus belajar ilmu agama di pondok pesantren. Kali itu saya tidak yakin ilmu agama bisa memberangkatkan saya hingga menulis artikel demikian karena saat itu saya hanya berfokus pada bagaimana cara agar kita menjadi penghuni surga dan dijauhkan dari neraka. Hingga saat ini pun saya masih terus berusaha untuk memantaskan diri, seolah-olah ingin memiliki suami yang benar-benar memantaskan diri juga.
Pemilihan Kriteria Calon Suami
Sudah saya bahas di sini yaa.. See You!!!

Leave a Reply